Masih tersisa separo cangkir coklat panas (yang sebenarnya mulai mendingin). Embun menghela nafas panjang diiringi hembusan asap rokok yang melayang-layang di sudut kafe. Sama seperti pikirannya yang melayang entah ke mana. Tidak seperti mata yang tertuju pada layar laptop,, pandangan kosong. Dia lupa tujuan utama datang ke tempat ini.
Masih tersisa separo cangkir coklat panas (yang sebenarnya mulai mendingin). Di luar hujan mengguyur deras dan sukses membuat Embun terjebak di dalam kafe. Membiarkan lagi pikiran-pikiran entah itu berlari-lari di otaknya. Bukan, sebenarnya bukan abstrak. Dia tau persis apa yang membuatnya gundah malam ini. Lalu perlahan dia klik tulisan "shut down" di layar laptop. Disingkirkannya biar fokus pikirannya ke satu hal itu.
Masih tersisa separo cangkir coklat panas (yang sebenarnya mulai mendingin). Kali ini dingin mulai Embun rasakan. Baru dia tau kalo pelayan kafe membuat suhu di AC menjadi 16 derajat celcius. Cukup membuat beku malam yang memang tak hangat ini. Ah sudahlah, tak penting juga karna dia masih punya flanel merah kotak-kotak kesayangannya sekedar tuk menghangatkan. Lalu diseruputnya lagi coklat panas (yang sebenarnya mulai mendingin). Sedikit lega.
Masih tersisa separo cangkir coklat panas (yang sebenarnya mulai mendingin). Perlahan Embun menutup matanya. Ada kehangatan di sana, makin lama tumpah sudah. Sedikit sesak dibuatnya, tapi dia tetap pejamkan mata. Biarlah, toh kafe sudah lengang, tinggal dia seorang dan pelayan-pelayan kafe. Karna memang jam sudah menunjukkan pukul 01.00 malam lewat, waktu manusia pulang ke peraduannya.
"Hey, sudahlah. jangan jadi cengeng."
"Aku gak cengeng. ini hanya sesekali saja, mungkin karna sudah terlalu penuh dan sesak."
"Ikhlaskan saja kalau itu memang yang terbaik untuk kalian."
"Aku bukan menangis karna dia, tapi hanya sedikit menyesal kenapa gak ada yang bisa diperjuangkan."
"Lalu?"
"Kenapa juga aku dulu memilih jalan yang jelas-jelas banyak lubang dan belokan itu, yang ujungnya pun entah di mana aku belum tau. Tapi aku udah milih jalan itu, siap terima resiko. Kau lihat sendiri kan, semua baik-baik saja sampai malam itu."
"Dan sekarang semua gak baik-baik aja kan?"
"Bukan seperti itu juga. Aku hanya sedikit kecewa dengan pernyataannya yang terkesan ringan malam itu. Seolah masih malas untuk usaha membuat keadaan membaik. Doa saja gak cukup tanpa usaha."
"Apa langkahmu selanjutnya?"
"Entahlah, mungkin saat ini aku akan lebih banyak diam."
"Itu tidak menyelesaikan masalah. Kau hanya mengulur waktu."
"Tapi aku masih yakin ada jalan keluar yang akan menyatukan kami."
"Mau sampai kapan?"
"Kau jangan menyudutkanku. Bantulah aku ni."
"Aku cuma gak ingin liat kau jadi lembek gini. Apa sih yang kau harapkan darinya?"
"Kau gak pernah ngerti sekalipun ku jelasin. Yang cukup kau tau, aku mencintainya.Itu sudah."
"Dengan keadaan dan kenyataan yang kalian jalani saat ini?"
"Sudahlah, cukup untuk malam ini. Aku masih tetap ingin berjalan dalam resiko ini. Kau percaya kan aku bisa lalui semua ini. Tidak ada yang mustahil bahkan untuk kami bersatu dengan perbedaan-perbedaan yang ada."
Masih tersisa separo cangkir coklat panas (yang sebenarnya mulai mendingin). Cepat-cepat Embun habiskan sisa coklat panas (yang sebenarnya mulai mendingin) itu, meringkasi pikiran-pikiran yang sedari tadi bergelayut di otaknya, menyeka habis air mata, lalu melangkah pulang. Sudah jam 2 pagi, hujan pun sudah reda. Sedikit rileks menuju pembaringan meski esok waktu bangun, dia sadar bahwa semuanya belum usai. Masih banyak yang harus diperjuangkan demi kata bahagia yang dia buat sendiri.